Pernikahan di Bawah Umur Fakta dan Dampaknya-Pernikahan adalah ikatan suci yang seharusnya dilandasi oleh kesiapan fisik, mental, dan emosional dari kedua belah pihak. Namun, kenyataannya pernikahan di bawah umur masih sering terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Pernikahan di bawah umur merujuk pada pernikahan yang dilakukan oleh anak-anak atau remaja yang belum mencapai usia dewasa secara hukum maupun biologis.
Di Indonesia, batas minimal usia perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yakni minimal usia 19 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan. Aturan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak anak, mencegah dampak buruk kesehatan, sosial, maupun psikologis, serta memastikan bahwa pernikahan dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Namun, di lapangan, masih banyak pernikahan di bawah umur yang terjadi dengan alasan budaya, ekonomi, hingga keterbatasan pengetahuan orang tua. Fenomena ini menimbulkan berbagai persoalan serius yang perlu dipahami bersama.
Fakta Pernikahan di Bawah Umur
Pernikahan anak bukanlah isu baru. Di Indonesia, kasusnya masih cukup tinggi, terutama di daerah pedesaan. Berikut beberapa fakta penting yang perlu diketahui:
-
Angka pernikahan anak di Indonesia masih tinggi
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan UNICEF, sekitar 1 dari 9 perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Meskipun angka ini cenderung menurun dari tahun ke tahun, namun jumlahnya masih cukup mengkhawatirkan. -
Lebih banyak dialami oleh anak perempuan
Kasus pernikahan anak lebih sering menimpa perempuan dibanding laki-laki. Hal ini seringkali dipengaruhi oleh norma sosial, adat, maupun pandangan patriarki yang masih kuat di masyarakat. -
Alasan ekonomi menjadi faktor dominan
Banyak keluarga menikahkan anaknya di usia dini karena faktor kemiskinan. Anak perempuan dianggap sebagai beban ekonomi sehingga pernikahan dijadikan jalan keluar. -
Budaya dan tradisi juga berperan
Di beberapa daerah, pernikahan anak dianggap hal yang wajar atau bahkan dianjurkan demi menjaga kehormatan keluarga, khususnya jika anak sudah berpacaran. -
Pandemi COVID-19 meningkatkan angka pernikahan dini
Studi menunjukkan bahwa angka pernikahan anak meningkat pada masa pandemi akibat faktor ekonomi, putus sekolah, serta terbatasnya akses edukasi.
Dampak Pernikahan di Bawah Umur
Pernikahan anak membawa berbagai dampak serius, baik dari sisi kesehatan, pendidikan, maupun kehidupan sosial. Berikut adalah dampak yang paling sering terjadi:
1. Dampak Kesehatan
-
Kehamilan berisiko tinggi → Anak perempuan yang hamil di usia terlalu muda rentan mengalami komplikasi kehamilan seperti preeklamsia, anemia, pendarahan, hingga risiko kematian ibu dan bayi.
-
Pertumbuhan fisik terhambat → Tubuh remaja belum siap untuk mengandung dan melahirkan, sehingga dapat memengaruhi kesehatan jangka panjang.
-
Risiko stunting pada anak → Bayi yang dilahirkan dari ibu usia dini cenderung memiliki berat badan rendah dan rentan mengalami stunting.
2. Dampak Pendidikan
-
Putus sekolah → Anak yang menikah di bawah umur hampir pasti akan berhenti sekolah karena harus mengurus rumah tangga.
-
Terbatasnya peluang kerja → Tanpa pendidikan yang cukup, mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak sehingga berpotensi memperpanjang lingkaran kemiskinan.
3. Dampak Psikologis
-
Belum matang secara mental → Anak usia dini belum memiliki kesiapan emosional untuk menghadapi tantangan rumah tangga. Hal ini sering memicu stres, depresi, bahkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
-
Kehilangan masa remaja → Seharusnya mereka menikmati masa belajar dan bermain, namun harus dipaksa menghadapi tanggung jawab sebagai orang dewasa.
4. Dampak Sosial dan Ekonomi
-
Kemiskinan antar generasi → Pernikahan dini berhubungan erat dengan rendahnya taraf ekonomi keluarga karena pasangan tidak memiliki bekal pendidikan dan keterampilan yang memadai.
-
Meningkatkan risiko perceraian → Ketidakmatangan emosional dan ekonomi membuat rumah tangga rawan berakhir dengan perceraian.
-
Menghambat pembangunan daerah → Tingginya angka pernikahan anak berdampak pada rendahnya kualitas sumber daya manusia di suatu wilayah.
Upaya Pencegahan Pernikahan di Bawah Umur
Mengurangi angka pernikahan dini membutuhkan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, keluarga, dan lembaga pendidikan. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:
-
Meningkatkan kesadaran masyarakat
Edukasi mengenai bahaya dan dampak pernikahan anak harus terus digencarkan melalui sosialisasi, seminar, maupun kampanye publik. -
Pendidikan yang lebih baik
Anak-anak, terutama perempuan, harus mendapatkan akses pendidikan hingga tingkat menengah bahkan tinggi agar tidak mudah terjebak dalam pernikahan dini. -
Pemberdayaan ekonomi keluarga
Pemerintah perlu memberikan dukungan ekonomi bagi keluarga miskin agar mereka tidak melihat pernikahan sebagai solusi atas kesulitan finansial. -
Perlindungan hukum
Aparat harus tegas menolak dispensasi pernikahan anak kecuali dalam kondisi mendesak dan sesuai ketentuan. -
Peran orang tua
Orang tua perlu membekali anak dengan pendidikan moral, kesehatan reproduksi, serta bimbingan agar anak siap menghadapi masa depan tanpa harus menikah dini.
Kesimpulan
Pernikahan di bawah umur bukan hanya sekadar fenomena sosial, melainkan masalah serius yang membawa dampak besar terhadap kesehatan, pendidikan, psikologis, dan kehidupan sosial ekonomi. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi angka pernikahan anak yang cukup tinggi meskipun pemerintah sudah menetapkan batas usia minimal 19 tahun.
Dampaknya tidak bisa dianggap remeh: mulai dari risiko kesehatan ibu dan anak, putus sekolah, kemiskinan, hingga rentannya perceraian. Oleh karena itu, pernikahan dini harus dicegah melalui edukasi, peningkatan kesadaran masyarakat, pemberdayaan ekonomi, serta penegakan hukum.
Masa depan anak-anak adalah aset bangsa. Dengan mencegah pernikahan di bawah umur, kita memberi kesempatan bagi mereka untuk meraih pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang lebih baik.